Selasa, 01 Juni 2010

Hubungan antara manusia, saya sendiri sebagai pribadi terhadap cita-cita dan terhadap Tuhan yang menciptakan manusia

Hubungan antara manusia dengan tuhan
Hubungan manusia dalam hal pengabdian (Ibadah) kepada sang Pencipta itu diwujudkan agar manusia selalu berada dalam posisi mengabdikan diri kepada Sang Pencipta, ada dua tujuan hidup yang harus dilakukan manusia.
1. ‘Abdullah
Manusia menjadi ‘Abdullah atau manusia beribadah (mengabdi) kepada-Nya. Ibadah dapat diartikan sebagai wujud penyerahan total kepada Allah dengan melaksanakan apa yang menjadi perintah-Nya. Dalam pengertian sempit, beribadah adalah melakukan aktifitas-aktifitas ritual yang dilakukan degan penuh hikmat dan pemahaman, seperti Shalat, Zakat, Puasa, Haji, Dzikir. Dengan melakukan perintah-perintah Allah berupa Ibadah, diharapkan manusia memiliki kecenderungan untuk memiliki kepedulian terhadap lingkungan sosial.
Semua Ibadah, yakni Sholat, Puasa, Zakat Haji dan sebagainya memiliki implisit sosial. Menurut Ismail R. Al-Faruqi dalam bukunya Tauhid, penyangkalan terhadap atau kelemahan dari, dimensi tersebut secara Ipso Facto membuat ritus-ritus itu menjadi batal. Misalkan, Haji yang berhasil akan mengantarkan pelakunya menjadi haji mabrur. Kemabruran seorang pelaku ibadah Haji, menurut Nurcholis Madjid dapat diketahui dari aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukannya sesudah pelaksanaan Ibadah Haji. Bila ia menjadi lebih peduli dan memiliki kesediaan untutk membantu orang-orang yang ada sekelilingnya, maka ia memiliki tanda sebagai Haji Mabrur.
1. Khalifah
Manusia menjadi khalifah (pemimpin) di bumi, dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah, 2: 30)
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat; Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah dimuka bumi”
Allah hendak menjadikan Khalifah di muka bumi, menurut M. Dawam Raharjo, khalifah adalah fungsi manusia yang mengemban amanat dari Tuhan (QS. Al-Ahzab, 33: 72). Apakah amanat Tuhan kepada Manusia? Tidak lain adalah memberikan pelayanan terhadap sesama makhluk denfan menyabarkan kasih sayagn terhadap sesama (Rahmatan lil-‘alamiin) dan ber-amar ma’ruf nahi munkar.
Hanya manusia –dan bukan makhluk lain- yang bersedia dan memiliki kemampuan untuk merealisasikan amanat sebagai wakil Tuhan. Tentang kesediaan manusia menerima amanat ini digambarkan oleh Al-Qur’an bahwa langit, gunung dan bumi menolak amanat itu, namun manusia menerimanya.
“Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan di pikullah amanat itu oleh manusia” (QS. Al-Ahzab, 33: 72)
Menurut Ismail R. Al-Faruqi, syarat agar manusia dapat merealisasikannya adalah dengan kemerdekaan atau kebebasan. Manusia memiliki kemungkinan melaksanakannya atau tidak melaksanakannya, atau justru melakukan yang sebaliknya, atau melakukannya dengan setengah-setengah. Apabila manusia dapat melakukannya dengan baik, maka ia mengukuhkan dirinya sebagai makhluk yang berderajat paling tinggi diantara makhluk-makhluk yang berada di alam semesta ini. Rasul dan Nabi adalah contoh-contoh figur manusia yang mampu membuktikan kualitasnya sebagai khalifah dibumi dengan melakukan amanat sebaik-baiknya. Para orang-orang yng bersifat antagonis terhadap ajaran Rasul dan Nabi (Misalnya, Fir’aun, Qarun, dan sebagainya) adalah figur-figur yang telah tercatat sebagai khalifah di bumi yang gagal memenuhi amanat dari Tuhan.
Manusia sebagai makhluk pengemban amanah. Sebagai makhluk berkehormatan dan mempunyai kelebihan di atas kebanyakan makhluk Allah lainnya, manusia dipersiapkan untuk mengemban amanah (QS. Al-Ahzab:72). Diantara amanat yang diembankan kepada manusia ialah untuk memakmurkan kehidupan di bumi (QS. Hud: 61). Demikian tinggi kedudukan manusia di hadhirat Allah, Tuhan mengangkat manusia sebagai khalifah-Nya di bumi (QS. Al-Baqarah: 30)
Sebagai mahkluk pengemban amanah Allah, manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas amanah Allah. Dari sini dapat dirumuskan bahwa manusia pada hakikatnya adalah “makhluk pengemban amanat yang bertanggungjawab”. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang tidak memerlukan penjelasan panjang. Hidup kita sehari-hari penuh dengan pengalaman-pengalaman yang menunjukkan bahwa sesungguhnya banyak hal yang terjadi pada manusia bukan berasal dari manusia sendiri. Menjadi laki-laki atau perempuan, memiliki bentuk badan dan rupa yang berbeda , berumur panjang atau pendek, kapan dan dimana seseorang akan meninggal, semuanya bukan hak yang dapat dipastikan terjadinya atas keinginan dan usaha manusia sendiri.
Manusia akan dimintai pertanggungjawabannya atas amanat yang dibebankan kepada Allah kelak diakhirat. Tanggungjawab manusia bersifat individual. Setiap orang bertanggungjawab atas segala perbuatan yang dilakukannya (QS. Ath-Thur: 21). Orang tidak dibebani dosa orang lain (Al- An’am: 164). Orang hanya akan memerik hasil amal perbuatan yang dilakukan sendiri (QS. An-Najm: 39).
Meskipun demikian, dimungkinkan orang ikut diminta bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan orang lain, yakni jika orang berpartisipasi dalam terjadinya perbuatan yang dilakukan orang lain itu.1
PENUTUP
Manusia sebagai makhluk pengemban amanat Allah berfungsi terhadp Allah. Fungsi manusia terhadap Allah bertumpu pada ajaran yang menegaskan bahwa Jin dan Manusia diciptakan Allah agar mereka beribadah (mengabdi) kepada-Nya.
Seluruh umat manusia diperintahkan untuk menganut agama Allah yang telah paripurna itu, sebagaimana ditegaskan didalam Al-Qur’an surat Al-A’raf: 158. Fungsi manusia terhadap Allah menuntut agar manusia memenuhi perintah Allah tersebut. Meskipun demikian, karena akhirnya kelak manusia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah,manusia diberi kebebasan untuk menerima (mukmin) atau menolak agama Allah yang telah paripurna itu. (QS. Al-Kahfi: 29) Tetapi diperingatkan, bahwa orang yang menganut agama selain Islam yang telah paripurna itu akan tergolong orang-orang yang mengalami kerugian, karena agama selain Islam tidak akan diterima Allah (QS. Al-Imran: 85).
Agama Allah yang telah paripurna mengajarkan ‘Aqidah secara jelaws dan tuntas. Ber-Tuhan hanya kepada Allah, sebab hanya Allah sajalah yang berhak diyakini sebagai Tuhan. Ber-Tuhan hanya kepada selain Allah berarti mempersekutukan Allah dengan yang lain. Beribadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Cara melaksanakan ibadah yang telah diatur secara rinci di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah wajib ditaati tanpa perubahan, tambahan dan pengurangan.
Berakhlak atas dasar nilai-nilai yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Tidak dibenarkan menentukan sendiri nilai akhlaq yang sifatnya relatif, situasional, kondisional. Bermu’amalah pun dilakukan sesuai dengan pedoman, petunjuk dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Manusia dibenarkan menentukan brbagai macam cara bermu’amalah, sepanjang tidak terdapat ketentuan-ketentuan secara jelas di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunah. Tetapi harus tetap berpedoman pada nilai-nilai dasar Al-Quran-Al-Sunnah.


Hubungan antara manusia dengan cita-cita
Cita-cita adalah suatu impian dan harapan seseorang akan masa depannya, bagi sebagian orang cita-cita itu adalah tujuan hidup dan bagi sebagian yang lain cita-cita itu hanyalah mimpi belaka. Bagi orang yang menganggapnya sebagai tujuan hidupnya maka cita-cita adalah sebuah impian yang dapat membakar semangat untuk terus melangkah maju dengan langkah yang jelas dan mantap dalam kehidupan ini sehingga ia menjadi sebuah akselerator pengembangan diri namun bagi yang menganggap cita-cita sebagai mimpi maka ia adalah sebuah impian belaka tanpa api yang dapat membakar motivasi untuk melangkah maju. Manusia tanpa cita-cita ibarat air yang mengalir dari pegunungan menuju dataran rendah, mengikuti kemana saja alur sungai membawanya. Manusia tanpa cita-cita bagaikan seseorang yang sedang tersesat yang berjalan tanpa tujuan yang jelas sehingga ia bahkan dapat lebih jauh tersesat lagi. Ya, cita-cita adalah sebuah rancangan bangunan kehidupan seseorang, bangunan yang tersusun dari batu bata keterampilan, semen ilmu dan pasir potensi diri.


Saya terhadapa tuhan yang menciptakan semesta alam
Saya sebagai mahluk ciptaan Allah swt tentu saja senantiasa bersyukur terhadap segala nikmat yang telah di diberikan kepada mahluknya, terutama manusia adalah mahluk yang paling sempurna. Karena segala sesuatu yang kita miliki adalah kuasa tuhan. Bentuk dari rasa bersyukur kita kepada tuhan adalah dengan menjalani semua perintahnya dan menjauhi segala laranganya. Dalam hukum islam banyak bentuk aktifitas-aktifitas untuk melakukan ibadah terhadap allah swt antara lain shalat, mengaji, berpuasa, zakat, dzikir, haji bila mampu. Dengan ibadah tersebut kita bisa selalu mengingat Allah dan terus bersyukur terhadap pencipta kita.


Saya terhadap cita-cita
Seperti yang telah di jelaskan di atas bahwa cita-cita adalah suatu impian dan harapan seseorang akan masa depannya. Dan saya sendiri sebagai individu tentu saja memiliki cita-cita. Tercapai maupun tidak saya percaya bahwa Allah sudah mengatur segala yang terbaik untuk umatnya. Sama seperti kebanyakan anak kecil sebaya, dulu pun saya bercita-cita menjadi guru, dokter, pragawati, pramugari dan lain-lain. Dan seiring berjalannya waktu cita-cita masa kecil itu pun terus berubah-ubah sampai ahirnya saya memutuskan untuk mengambil jurusan psikolagi, karena saya sangat tertarik pada bidang ilmu pengembangan kepribadian. Pada masa itu mungkin belum banyak pertimbangan yang saya fikirkan sampai ahirnya saya mantap untuk mengambil fakultas ilmu komputer jurusan sistem informasi. Insyaallah cita-cita saya tercapai menjadi seorang programmer. Dengan usaha saya, doa saya, orang tua, saudara dan teman-teman, terutama yang penting ridho Allah swt

manusia dengan tuhan

Hubungan Manusia dan Tuhan Perspektif Islam

Al-Qur’an adalah pengantar Kitab Allah SWT. yang diwahyukan kepada Rasul-Nya terakhir Muhammad saw, untuk memberi pedoman atau prinsip hidup kepada seluruh umat manusia sepanjang masa, yang menjamin akan mendatangkan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat. Al-Qur’an mengkokohkan kebenaran-kebenaran yang pernah diwahyukan kepada para Rasul sebelumnya dan menjadi tolok ukur kebenaran ajaran kitab-kitab Allah sebelumnya. Dalam beberapa hal, Al-Qur’an mengganti ajaran-ajaran yang berlum pernah diajarkan di dalam kitab-kitab sebelumnya. Bahkan, Al-Qur’an memberikan koreksi terhadap kekeliruan-kekeliruan yang dialami oleh ummat beragama yang terdahulu dalam memahami ajaran-ajaran agama yang berasal dari wahyu Allah, atau kekeliruan-kekeliruan yang berasal dari konsep manusia.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang pertama kali diwahyukan, ketika Nabi Muhammad saw, sedang menyendiri (Tabannuts) di Gua Hira’, pada bulan Ramadhan ketika usia beliau mencapai 40 tahun (610), hanya terdiri dari 5 ayat, yang kemudian tercantum di dalam Al-Qur’an surat surat Al-‘Alaq ayat 1-51. lima ayat yang pertama kali diwahyukan itu berisi ajaran-ajaran dasar tentang Tuhan dan Manusia2.
Ayat pertama berisi penegasan tentang yang berhak diyakini sebagai Tuhan yaitu yang telah menciptakan alam semesta. Keteraturan alam dan keseragaman hukum-hukum alam, menunjukkan bahwa Tuhan yang menciptakannya hanyalah Tuhan Yang Maha Esa. Bagi alam semesta hanya ada satu Tuhan.
Ayat kedua berisi penegasan bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan, yang dalam proses kejadiannya didalam rahim ibu pernah berupa semacam ‘Alaq (semacam gumpalan darah yang bergantung atau bersarang pada dinding rahim). Ayat yang ketiga berisi tentang penegasan bahwa Tuhan yang menciptakan alam semesta, termasuk manusia, adalah Maha Pemurah.
Ayat keempat berisi tentang penegasan bahwa (diantara kepemurahan Tuhan yang menyertai ciptaan manusia ialah) Dia telah mengajarkan dengan pena. Manusia diciptakan dengan persiapan-persiapan yang akan dapat menggunakan pena sebagai alat tulis baca, guna menyatakan perasaan dan buah pikirannya kepada sesama. Dan ayat kelima berisi penegasan tentang bahwa dengan kemampuan menggunakan pena sebagai alat tulis baca itu, Tuhan mengajarkan manusia banyak hal yang semula tidak diketahuinya.
BAHASAN
1.Batasan Manusia
Bagaimanakah sifat manusia dan seberapa besar potensi yang dimiliki manusia untuk berkembang adalah beberapa pertanyaan penting tentang manusia. Tentu saja pertanyaan itu paling tepat apabila diarahkan kepada siapa yang menciptakan manusia. Allah Azza wa jalla adalah tempat bertanya, karena Dialah sang Pencipta manusia (The Human Creator). Apa yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist adalah jawaban Allah SWT, tentang apa, siapa dan bagaimana sesungguhnya manusia itu.
Proses Penciptaan Manusia.
1.Penciptaan Ruh
Kapankah Ruh diciptakan? Berdasarkan pendapat yang dominan, sebagaimana disebutkan Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam buku Al-Ruh li Ibnul Qayyim berdasar beberapa hadist Nabi, Ruh diciptakan setelah penciptaan Adam di surga. Diisyaratkan dalam beberapa hadist bahwa ditangan Allah terdapat bermilyar-milyar ruh (calon) manusia. Manakala Allah mengusapkan tangan kanan dan tangan kiri-Nya ke punggung Adam, maka keluarlah ruh-ruh manusia itu. Sesudahnya Allah mengumpulkan mereka dan menanyai mereka. “Benarkah Aku Tuhan Kalian? Ruh-ruh manusia menjawab. ’Benar Engkau Tuhan kami’. Kami bersaksi”: Dalam Qur’an Surat Al-A’raaf; 172 yang artinya “Dan (Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari Sulbinya dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab; Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.”
Di dalam kitab Al-Muwaththa’ Imam Malik menyampaikan bahwa pada suatu ketika Umar bin Khatab pernah ditanya tentang ayat, Dan (Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka. Maka Umar bn Khatab menjawab: aku pernah mendengar Rasulullah ditanya tentang ayat ini, lalu beliau menjawab: ”Allah menciptakan Adam kemudian mengusapkan tangan Kanan-Nya ke sulbi Adam, hingga dari sana keluar anak-anak keturunannya”.
Bahwa ruh yang ada dalam diri manusia merupakan Ruh Ilahi (The Spirit of God). Hanya manusialah makhluk yang dalam unsur penciptaannya terdapat Ruh Ilahi. Dengan ruh adanya ruh-Nya ini manusia memiliki potensi ketuhanan dalam dirinya. Maksudnya, dalam diri manusia melekat sifat-sifat dasar atau potensi-potensi dasar sebagaimana sifat-sifat yang dimiliki Allah.
Tentang Ruh ini, Allah berfirman bahwa manusia hanya memiliki pengetahuan yang jumlahnya sedikit.
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: ruh itu termasuk urusan Tuhanku dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
Penjelasan bahwa manusia memiliki ruh-Nya mengisyaratkan bahwa manusia telah memiliki unsur yang memungkinkan dirinya menyadari keberadaan Allah SWT3, dan karenanya menjadikannya tunduk dan patuh kepada Allah, selalu menjaga kesucian tauhid atau persaksian terhadap keesaan Allah.
1.Penciptaan Jasad
Mengenai hal fisik-material di bumi, manusia diciptakan (hidup), terdapat manusia laki-laki dan manusia perempuan.
“Hai manusia, sesungguhnnya kami menciptakan kamu sekalian dari seorang laki-laki dan perempuan (QS. Al-Hujurat:13)
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari setetes air mani yang bercampur (Nuthfah Amsyaj) yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu kami jadikan dia mendengar dan melihat. (QS. Al-Ihsan, 76:2)
Secara Badani (Jasad, Jism), awal kehidupan fisik manusia ditandai oleh hubungan seksual antara aki-laki dan perempuan. Diantara 200-300 juta sel sperma itu sekitar 400 diantaranya mencapai sel telur4. Jadi sel sperma itu harus bersaing satu sama lain. Hanya satu yang dipilih Allah untuk menjadi pemenang. Yang menjadi pemenang akhirnya bertemu dengan sel telur untuk melakukan pembuahan. Disinilah dimulai kehidupan fisik manusia.
1.Ruh di Tiupkan ke Jasad
Menurut ‘Abdullah Ibnu ‘Abbas, saat calon bayi dalam rahim berusia 120 hari, Allah SWT dengan kekuasaan-Nya meniupkan ruh-Nya ke jasad manusia. Maka untuk pertama kalinya menyatulah ruh dan jasad. Ibnu Qayyim al-Jauziyah, sebagaimana dikutip Muhammad Ali Akbar, pernah menyampaikan bahwa sebelum peniupan ruh, embrio telah memiliki gerakan atau persepsi. Ia mengandaikan gerakan embrio sebelum disatukan ruh seperti gerakan tanaman yang sedang tumbuh. Gerakan dan persepsinya tidak sadar. Ketika ruh ditiupkan ke jasad, gerakan dan persepsi menjadi sadar. Pada minggu ke-16 ibu hamil mulai merasakan tendangan anak yang ada dalam kandungan.
Sesudah peniupan ruh, Allah memerintahkan malaikat untuk menulis takdrnya diantara dua matanya. Hal ini secara jelas disampaikan hadis Nabi Muhammad. Nabi Muhammad bersabda: “Ketika Tuhan meniupkan ruh ke dalam jasad, malaikat yang mengurusi rahim bertanya; ‘Ya Tuhan, apakah anak laki-laki atau anak perempuan? Dan Tuhan menentukan apa yang dikehendaki-Nya. Maka malaikat menulis diantara kedua matanya apa saja yang akan dihadapi dalam hidupnya.”
1.Batasan Tuhan (Allah SWT)
Manusia diciptakan Allah SWT, dengan tujuan yang mulia dan sama sekali bukan untuk main-main (QS. Ali Imran, 3:191, QS. Shaad,38: 27). Allah menciptakan manusia, tidak lain adalah agar manusia mengabdikan hidup kepada-Nya. Allah berfirman adalam Al-Qur’an:
“Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi (beribadah) kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyaat,51: 56)
Allah SWT, Sang Pencipta Manusia (The Human Creator), menghendaki agar kehidupan manusia di dunia ini diarahkan untuk mengabdi pada-Nya. Untuk mewujudkan kehendak-Nya itu, Allah telah menancapkan dalam diri manusia kesediaan untuk menyembah-Nya atau meng-Esakan-Nya(QS. Al-A’raaf, 7: 172), yang secara implisitberisi kesediaan tunduk kepada-Nya. Dalam dimensi diri manusia yang paling dalam, dimensi ruh, tertanam keyakinan bahwa Allah-lah pusat kehidupan atau tempat berpaling bagi manusia. Agar dasar-dasar yang terbentuk dalam diri manusia itu terpelihara, maka Allah memberikan bimbingan dengan teks (dalam hal ini Al-Qur’an). Bagaimana dasar-dasar keimanan kepada Allah dalam diri manusia tersebut diamankan atau diwujudkan dalam kehidupan aktual manusia. Bimbingan Tuhan melalui kitab suci adalah cara yang digunakan Tuhan agar manusia selalu dalam posisi selalu mengembangkan sifat-sifat asalnya dalam bentuk mengabdikan hidup kepada-Nya.5
Beribadah kepada Allah dalam artian luas adalah melaksanakan hidup sesuai pedoman dan petunjuk Allah yang telah disampaiakn kepada ummat manusia dengan perantar rasul-rasul-Nya. Rasul-rasul Allah diutus dengan silih berganti, sejak Nabi Adam AS hingga yang terakhir Nabi Muhammad saw. Pedoman dan petunjuk Allah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad merupakan tahapan terakhir dari pedoman dan petunjuk-Nya yang diperuntukan bagi seluruh umat manusia sepanjang masa.6
1.Hubungan Manusia dan Tuhan
Hubungan manusia dalam hal pengabdian (Ibadah) kepada sang Pencipta itu diwujudkan agar manusia selalu berada dalam posisi mengabdikan diri kepada Sang Pencipta, ada dua tujuan hidup yang harus dilakukan manusia.
1.‘Abdullah
Manusia menjadi ‘Abdullah atau manusia beribadah (mengabdi) kepada-Nya. Ibadah dapat diartikan sebagai wujud penyerahan total kepada Allah dengan melaksanakan apa yang menjadi perintah-Nya. Dalam pengertian sempit, beribadah adalah melakukan aktifitas-aktifitas ritual yang dilakukan degan penuh hikmat dan pemahaman, seperti Shalat, Zakat, Puasa, Haji, Dzikir. Dengan melakukan perintah-perintah Allah berupa Ibadah, diharapkan manusia memiliki kecenderungan untuk memiliki kepedulian terhadap lingkungan sosial.
Semua Ibadah, yakni Sholat, Puasa, Zakat Haji dan sebagainya memiliki implisit sosial. Menurut Ismail R. Al-Faruqi dalam bukunya Tauhid, penyangkalan terhadap atau kelemahan dari, dimensi tersebut secara Ipso Facto membuat ritus-ritus itu menjadi batal. Misalkan, Haji yang berhasil akan mengantarkan pelakunya menjadi haji mabrur. Kemabruran seorang pelaku ibadah Haji, menurut Nurcholis Madjid dapat diketahui dari aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukannya sesudah pelaksanaan Ibadah Haji. Bila ia menjadi lebih peduli dan memiliki kesediaan untutk membantu orang-orang yang ada sekelilingnya, maka ia memiliki tanda sebagai Haji Mabrur.
1.Khalifah
Manusia menjadi khalifah (pemimpin) di bumi, dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah, 2: 30)
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat; Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah dimuka bumi”
Allah hendak menjadikan Khalifah di muka bumi, menurut M. Dawam Raharjo, khalifah adalah fungsi manusia yang mengemban amanat dari Tuhan (QS. Al-Ahzab, 33: 72). Apakah amanat Tuhan kepada Manusia? Tidak lain adalah memberikan pelayanan terhadap sesama makhluk denfan menyabarkan kasih sayagn terhadap sesama (Rahmatan lil-‘alamiin) dan ber-amar ma’ruf nahi munkar.
Hanya manusia –dan bukan makhluk lain- yang bersedia dan memiliki kemampuan untuk merealisasikan amanat sebagai wakil Tuhan. Tentang kesediaan manusia menerima amanat ini digambarkan oleh Al-Qur’an bahwa langit, gunung dan bumi menolak amanat itu, namun manusia menerimanya.
“Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan di pikullah amanat itu oleh manusia” (QS. Al-Ahzab, 33: 72)
Menurut Ismail R. Al-Faruqi, syarat agar manusia dapat merealisasikannya adalah dengan kemerdekaan atau kebebasan. Manusia memiliki kemungkinan melaksanakannya atau tidak melaksanakannya, atau justru melakukan yang sebaliknya, atau melakukannya dengan setengah-setengah. Apabila manusia dapat melakukannya dengan baik, maka ia mengukuhkan dirinya sebagai makhluk yang berderajat paling tinggi diantara makhluk-makhluk yang berada di alam semesta ini. Rasul dan Nabi adalah contoh-contoh figur manusia yang mampu membuktikan kualitasnya sebagai khalifah dibumi dengan melakukan amanat sebaik-baiknya. Para orang-orang yng bersifat antagonis terhadap ajaran Rasul dan Nabi (Misalnya, Fir’aun, Qarun, dan sebagainya) adalah figur-figur yang telah tercatat sebagai khalifah di bumi yang gagal memenuhi amanat dari Tuhan.
Manusia sebagai makhluk pengemban amanah. Sebagai makhluk berkehormatan dan mempunyai kelebihan di atas kebanyakan makhluk Allah lainnya, manusia dipersiapkan untuk mengemban amanah (QS. Al-Ahzab:72). Diantara amanat yang diembankan kepada manusia ialah untuk memakmurkan kehidupan di bumi (QS. Hud: 61). Demikian tinggi kedudukan manusia di hadhirat Allah, Tuhan mengangkat manusia sebagai khalifah-Nya di bumi (QS. Al-Baqarah: 30)
Sebagai mahkluk pengemban amanah Allah, manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas amanah Allah. Dari sini dapat dirumuskan bahwa manusia pada hakikatnya adalah “makhluk pengemban amanat yang bertanggungjawab”. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang tidak memerlukan penjelasan panjang. Hidup kita sehari-hari penuh dengan pengalaman-pengalaman yang menunjukkan bahwa sesungguhnya banyak hal yang terjadi pada manusia bukan berasal dari manusia sendiri. Menjadi laki-laki atau perempuan, memiliki bentuk badan dan rupa yang berbeda , berumur panjang atau pendek, kapan dan dimana seseorang akan meninggal, semuanya bukan hak yang dapat dipastikan terjadinya atas keinginan dan usaha manusia sendiri.
Manusia akan dimintai pertanggungjawabannya atas amanat yang dibebankan kepada Allah kelak diakhirat. Tanggungjawab manusia bersifat individual. Setiap orang bertanggungjawab atas segala perbuatan yang dilakukannya (QS. Ath-Thur: 21). Orang tidak dibebani dosa orang lain (Al- An’am: 164). Orang hanya akan memerik hasil amal perbuatan yang dilakukan sendiri (QS. An-Najm: 39).
Meskipun demikian, dimungkinkan orang ikut diminta bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan orang lain, yakni jika orang berpartisipasi dalam terjadinya perbuatan yang dilakukan orang lain itu.7
PENUTUP
Manusia sebagai makhluk pengemban amanat Allah berfungsi terhadp Allah. Fungsi manusia terhadap Allah bertumpu pada ajaran yang menegaskan bahwa Jin dan Manusia diciptakan Allah agar mereka beribadah (mengabdi) kepada-Nya.
Seluruh umat manusia diperintahkan untuk menganut agama Allah yang telah paripurna itu, sebagaimana ditegaskan didalam Al-Qur’an surat Al-A’raf: 158. Fungsi manusia terhadap Allah menuntut agar manusia memenuhi perintah Allah tersebut. Meskipun demikian, karena akhirnya kelak manusia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah,manusia diberi kebebasan untuk menerima (mukmin) atau menolak agama Allah yang telah paripurna itu. (QS. Al-Kahfi: 29) Tetapi diperingatkan, bahwa orang yang menganut agama selain Islam yang telah paripurna itu akan tergolong orang-orang yang mengalami kerugian, karena agama selain Islam tidak akan diterima Allah (QS. Al-Imran: 85).
Agama Allah yang telah paripurna mengajarkan ‘Aqidah secara jelaws dan tuntas. Ber-Tuhan hanya kepada Allah, sebab hanya Allah sajalah yang berhak diyakini sebagai Tuhan. Ber-Tuhan hanya kepada selain Allah berarti mempersekutukan Allah dengan yang lain. Beribadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Cara melaksanakan ibadah yang telah diatur secara rinci di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah wajib ditaati tanpa perubahan, tambahan dan pengurangan.
Berakhlak atas dasar nilai-nilai yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Tidak dibenarkan menentukan sendiri nilai akhlaq yang sifatnya relatif, situasional, kondisional. Bermu’amalah pun dilakukan sesuai dengan pedoman, petunjuk dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Manusia dibenarkan menentukan brbagai macam cara bermu’amalah, sepanjang tidak terdapat ketentuan-ketentuan secara jelas di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunah. Tetapi harus tetap berpedoman pada nilai-nilai dasar Al-Quran-Al-Sunnah.